Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

“Ayah, Berbohonglah Untukku…”

semangat pagi teman-teman semua..
selasa malam rabu. Hawanya panas selepas hujan tadi sore.
catatan perjalanan malam ini adalah sedikit sentilan atau teguran kecil bagi para gadis dan tentunya para lelaki yang mencoba mendekatinya. dikutip dari sebuah situs yang tak sengaja terbuka saat buka facebook barusan. Tulisan yang dibuat oleh
Akmal Ahmad, seorang Sarjana Sains (S.Si) di bidang Fisika, FMIPA Universitas Andalas, ini tulisan lengkapnya dengan judul yang sama. semoga bermanfaat.


Suatu ketika dalam pelatihan, sebuah pertanyaan sederhana saya ajukan kepada peserta. Mereka semuanya mahasiswa.
“Jika kita diminta untuk memilih. Mana yang lebih baik, pura-pura atau yang sebenarnya, yang sejujurnya?”
“Yang sebenarnya… yang sejujurnya…” jawab mereka serempak.
“Apa alasannya?” tanya saya kembali dan menunjuk salah seorang peserta perempuan.
“Karena pura-pura itu dekat dengan kebohongan. Bahkan bisa jadi sama. Munafik,” jawabnya lugas.
Usai mendengar jawaban terakhir tadi, saya mencoba melayangkan pandangan ke seluruh peserta, terutama yang laki-laki. Saya menatap peserta laki-laki dengan tajam seraya berkata dengan nada yang berat.
“Jika demikian wahai saudari kami yang perempuan… Apabila ada seorang di antara kami para laki-laki datang kepadamu menyatakan cintanya sembari mengajak pacaran… Maka itulah laki-laki yang akan membuat Ayahmu, atau wali yang bertanggungjawab terhadapmu, terpaksa harus berpura-pura di depan penghulu, para saksi, dan undangan. Dia terpaksa berpura-pura mengulurkan tangannya ketika ijab qabul, seakan anak perempuannya memang tak pernah tersentuh oleh lelaki manapun selain mahramnya. Tak pernah terjamah hatinya oleh lelaki manapun.”
“Bukankah demikian selama ini hikmahnya?” lanjut saya. “Wali nikah itu, adalah wujud kehormatan dan mengagungkan perempuan yang hanya boleh ‘disentuh'(hati dan fisiknya) setelah pernikahan. Selain itu tidak ada. Tidak ada!” tegas saya.
“Apakah tega kita menjebak Ayah yang kita hormati selama ini dalam kepura-puraan, kebohongan, di hari yang seharusnya kita harapkan keberkahan?”
Saya berhenti pada pertanyaan itu. Saya tertunduk menghela nafas. Kemudian menyudahi dengan closing statement.
“Jika hal ini kita abaikan. Kita hiraukan. Maka tidakkah tega kita melihat perempuan-perempuan yang akan menjadi ibu bagi anak-anaknya, menjadi suri tauladan bagi generasi selanjutnya, terpaksa mengawali hari bersejarahnya dengan berkata, ‘Ayah, berbohonglah untukku pada hari pernikahan ini…’
Dan kebohongan itu akan disaksikan oleh puluhan, bahkan ratusan undangan. (*)

demikian kisahnya.
Jember, 4 November 2014

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar